That 'Ruthless Reality'
Saffanah Nur Fadhila
4/09/2014 07:58:00 PM
0 Comments
“Too blind to face the truth, too afraid to accept the fact. That’s why you’re not more than just a coward.”
Kadang-kadang,
nggak semua kenyataan yang berbeda jauh dengan ekspektasi harus kita terima
dengan lapang dada.
Yang
namanya ekspektasi-harapan-impian-atau apalah itu- artinya adalah sesuatu yang
hanya terjadi dalam bayangan kita—atau dalam kata lain, belum terjadi. Nah, hal
inilah yang bikin pola pikir orang-orang jadi berbeda. Ada yang harapannya
optimis, ada juga yang pesimis. Ada yang harapannya positif, ada juga yang negatif.
Tapi,
dalam masalah ini—you know what lah—orang
cenderung berharap pesimis.
Just like me.
Ketika
kenyataan yang kamu dapatkan ternyata berbeda jauh dengan apa yang sebenarnya
kamu harapkan, hatimu menjeritkan satu kata: kecewa.
Ya,
tentu aja mengecewakan. Kenyataan parah yang berbeda banget dari dugaan jelas
membuat kekecewaan yang hanya kita yang tahu. Seperti ketika lagi jatuh cinta, ya
kan? Berharap apakah pandangannya yang nggak sengaja bertemu ‘yang sepertinya’
memang disengaja, atau berharap apakah senyumnya saat itu diberikan untukmu
atau bukan.
Kalau
aku boleh menceritakan pengalaman pribadiku… Justru itu saat-saat yang paling
parah buatku.
To be honest, I’ve
been in love with this same boy since 10 years ago.
Entah
sejak kapan, dia yang memang berada di tempat yang jauh banget, mulai terasa
jauh, lebih jauh lagi dari ketika kami masih berada di sekolah yang sama.
Ada
satu rasa yang mengganggu—rasa di mana seorang cewek tahu ketika her crush mulai menjauh karena dia
menemukan seseorang. Seseorang yang statusnya sama seperti status dia di
matamu. And yes, he pushed me away.
Nggak
pernah ada lagi balasan dari segala jenis kontak yang kukirim. Nggak pernah ada
lagi kontak yang dimulainya duluan. Dan jika ada balasan pun, sikap yang
diberikannya berbeda dengan sebelumnya.
Di
sini ekspektasi itu muncul.
Mungkin dia
terlalu sibuk untuk mengecek inbox emailnya, atau mungkin terlalu banyak tugas
di sekolahnya, atau mungkin pulsanya habis.
Tapi
lama kelamaan, semua ekspektasi positif itu semakin nggak masuk akal. Yang
lebih terlihat justru pada kenyataannya, pada faktanya, he really pushed me away. He
rejects my feelings implicitly.
Harusnya
aku mau menerima semua fakta itu. Harusnya aku mau melihat kenyataan itu.
Sayangnya, itu semua terhalang dengan ketakutan yang tiba-tiba datang. In the end, I am just a coward. Refusing the
facts seems like the better way than accepting it.
Dan
itu semua rasanya benar-benar sakit. Kita tahu itu benar, tapi kita menolak
untuk setuju akan kebenaran itu. Hahahaha.
Right now, I’m
trying to control my feelings. Setiap
kali keinget tentang itu, rasanya benar-benar sakit sampai aku sendiri nggak
kuat menahannya. Jadilah semuanya pecah. Meledak.
Mungkin
kita nggak harus menerima kenyataan pahit itu secara langsung, tapi kita tetap nggak
boleh menolak kenyataan itu. Kekecewaan yang didapatkan ketika kita menolak
kenyataan pahit itu jauh lebih besar dibandingkan ketika kita menerima
kenyataan itu walaupun pelan-pelan.
Time
really heals, but it needs a long time.
Aku
belum tahu gimana akhir dari semua ini, karena batas itu belum datang. Tapi aku
benar-benar harus percaya tentang hal itu. Tentang waktu yang memang akan
menyembuhkan meskipun membutuhkan waktu yang lama.
Pada
akhirnya, kita memang harus menyerah kalau yang kita kejar memang benar-benar
bukan untuk kita. Kenyataan yang berbeda jauh dari ekspektasi kita nggak harus
langsung diterima, tapi harus diterima dengan pelan-pelan. Slow but sure. Meski sakit—percayalah, rasanya nggak akan sesakit
ketika kita menolaknya.
And of course, kita butuh keberanian yang
luar biasa untuk itu.