Rabu, 09 April 2014

That 'Ruthless Reality'

4/09/2014 07:58:00 PM 0 Comments

“Too blind to face the truth, too afraid to accept the fact. That’s why you’re not more than just a coward.”

Kadang-kadang, nggak semua kenyataan yang berbeda jauh dengan ekspektasi harus kita terima dengan lapang dada.

Yang namanya ekspektasi-harapan-impian-atau apalah itu- artinya adalah sesuatu yang hanya terjadi dalam bayangan kita—atau dalam kata lain, belum terjadi. Nah, hal inilah yang bikin pola pikir orang-orang jadi berbeda. Ada yang harapannya optimis, ada juga yang pesimis. Ada yang harapannya positif, ada juga yang negatif.

Tapi, dalam masalah ini—you know what lah—orang cenderung berharap pesimis.
Just like me.

Ketika kenyataan yang kamu dapatkan ternyata berbeda jauh dengan apa yang sebenarnya kamu harapkan, hatimu menjeritkan satu kata: kecewa.
Ya, tentu aja mengecewakan. Kenyataan parah yang berbeda banget dari dugaan jelas membuat kekecewaan yang hanya kita yang tahu. Seperti ketika lagi jatuh cinta, ya kan? Berharap apakah pandangannya yang nggak sengaja bertemu ‘yang sepertinya’ memang disengaja, atau berharap apakah senyumnya saat itu diberikan untukmu atau bukan.

Kalau aku boleh menceritakan pengalaman pribadiku… Justru itu saat-saat yang paling parah buatku.

To be honest, I’ve been in love with this same boy since 10 years ago.

Entah sejak kapan, dia yang memang berada di tempat yang jauh banget, mulai terasa jauh, lebih jauh lagi dari ketika kami masih berada di sekolah yang sama.
Ada satu rasa yang mengganggu—rasa di mana seorang cewek tahu ketika her crush mulai menjauh karena dia menemukan seseorang. Seseorang yang statusnya sama seperti status dia di matamu. And yes, he pushed me away.

Nggak pernah ada lagi balasan dari segala jenis kontak yang kukirim. Nggak pernah ada lagi kontak yang dimulainya duluan. Dan jika ada balasan pun, sikap yang diberikannya berbeda dengan sebelumnya.

Di sini ekspektasi itu muncul.
Mungkin dia terlalu sibuk untuk mengecek inbox emailnya, atau mungkin terlalu banyak tugas di sekolahnya, atau mungkin pulsanya habis.

Tapi lama kelamaan, semua ekspektasi positif itu semakin nggak masuk akal. Yang lebih terlihat justru pada kenyataannya, pada faktanya, he really pushed me away. He rejects my feelings implicitly.

Harusnya aku mau menerima semua fakta itu. Harusnya aku mau melihat kenyataan itu. Sayangnya, itu semua terhalang dengan ketakutan yang tiba-tiba datang. In the end, I am just a coward. Refusing the facts seems like the better way than accepting it.

Dan itu semua rasanya benar-benar sakit. Kita tahu itu benar, tapi kita menolak untuk setuju akan kebenaran itu. Hahahaha.

Right now, I’m trying to control my feelings. Setiap kali keinget tentang itu, rasanya benar-benar sakit sampai aku sendiri nggak kuat menahannya. Jadilah semuanya pecah. Meledak.

Mungkin kita nggak harus menerima kenyataan pahit itu secara langsung, tapi kita tetap nggak boleh menolak kenyataan itu. Kekecewaan yang didapatkan ketika kita menolak kenyataan pahit itu jauh lebih besar dibandingkan ketika kita menerima kenyataan itu walaupun pelan-pelan.

Time really heals, but it needs a long time.

Aku belum tahu gimana akhir dari semua ini, karena batas itu belum datang. Tapi aku benar-benar harus percaya tentang hal itu. Tentang waktu yang memang akan menyembuhkan meskipun membutuhkan waktu yang lama.

Pada akhirnya, kita memang harus menyerah kalau yang kita kejar memang benar-benar bukan untuk kita. Kenyataan yang berbeda jauh dari ekspektasi kita nggak harus langsung diterima, tapi harus diterima dengan pelan-pelan. Slow but sure. Meski sakit—percayalah, rasanya nggak akan sesakit ketika kita menolaknya.

And of course, kita butuh keberanian yang luar biasa untuk itu.