Rabu, 25 Januari 2012

Fiction: Keynan Sang Idola

1/25/2012 09:50:00 PM 0 Comments


“Aku mau nonton konsernya Keynan!”

Tekad Kana begitu bulat ketika ia melihat iklan kedatangan konser Keynan ke Indonesia.

“Yakin? Hei, harga tiketnya mahal banget, tau!” seru Giska. Kana mengibaskan tangannya.

“Ah, itu sih gampang! Aku udah nabung dari jauh-jauh hari untuk konser Keynan!”

Giska menatap Kana pasrah. Kana memang keras kepala. Kalau dia punya keinginan, ia akan melakukannya dengan cara apapun.

***

Siapa Keynan?

Keynan adalah idola remaja masa kini, yang tentunya dilengkapi dengan suara dan tampang oke ditambah otak yang cerdas. Dan tentu saja, Keynan memiliki banyak penggemar di belahan dunia. Jika diibaratkan, Keynan setaraf dengan Justin Bieber atau David Archuleta. Keynan benar-benar idola yang sempurna.

Dan Kana adalah salah satu penggemarnya yang paling fanatik.

“Kanaaaaa! Kecilin volume tape-nyaaaa!!!”

Kana tetap cuek mendengar ocehan Keisha, adik kembarnya yang nggak mengidolakan Keynan seperti dirinya. Keisha justru mengidolakan atlet-atlet dunia yang bikin Kana bingung.

Kana menatap tiket di tangan kanannya. Ia berhasil mendapatkan tiket itu. Kana benar-benar senang. Akhirnya! Konser Keynan ke Indonesia yang sangat ia tunggu akan ia tonton. Yah, walaupun tiket itu ia beli dengan harga yang menjulang tinggi, Kana nggak merasa rugi.

“Kanaaaaa!!”

***

Kana mematut diri di depan cermin. Ia sudah berjanji jam tiga sore ini akan menunggu di kafe bersama Triska dan Dania, dua temannya yang juga penggemar Keynan. Malamnya, mereka akan menonton konser Keynan bersama-sama!

“Aku berangkat, Ma,” Kana mencium tangan ibunya lembut.

“Kamu mau ke mana, Kan?”

Mata Kana membulat menatap ibunya. Ia lupa memberitahu ibunya.

“Ng, itu, Ma, mau ke kafe, ketemu temen-temen…”

“Siapa? Pulang jam berapa?”

“Triska sama Dania… Ng… pulangnya agak malam…”

“Mama minta kamu pulang jam 6, ya,”

Wajah Kana berubah pucat tiba-tiba. Konser Keynan justru mulai jam 7!

“Tapi, Ma, aku―aku mau nonton konsernya Keynan!”

Wajah ibunya yang justru berubah.

“Konser Keynan? Kenapa kamu nggak bilang Mama? Jangan-jangan, kamu udah beli tiketnya?” tanya ibunya dengan mata tajam. Kana mengangguk pasrah.

“Kana, Mama nggak akan mengizinkan kamu untuk nonton konser begituan!”

“Kenapa?!” Kana menyela. “Aku udah beli tiketnya, kan sayang, Ma!”

“Pokoknya jangan nonton konser begituan! Mama nggak setuju! Lebih baik kamu nonton di rumah!”

Kana tetap ingin membantah. Ini nggak adil buatnya!

“Ma, aku punya hak dong, untuk nonton konser Keynan!”

“Kana, jangan membantah Mama!”

Kana menatap ibunya nanar. Air matanya sudah mengendap di pelupuk matanya.

“Terserah apa kata Mama! Kana mau nonton konser Keynan!”

Kana berlari ke luar rumah. Ia menangis. Meskipun ibunya memanggilnya, Kana tetap berlari.

***

Kana menatap sekeliling. Kafe baru ini tidak terlalu ramai, tapi hidangannya lumayan. Kana menatap tehnya dengan wajah sembab. Untungnya ia memilih meja di pojokan, sehingga tidak terlalu terlihat pengunjung-pengunjung lain.

“Hei, girl? Boleh aku duduk di sini?”

Sebuah suara merdu menghampirinya. Kana memandang jutek orang itu.

“Ganggu aja!”

“Oh, maaf,” kata orang itu, yang ternyata seorang cowok. “Kamu nangis?”

“Konser Keynan… Aku nggak bisa nonton konser Keynan…” Kana mulai terisak lagi, tidak peduli ada orang di depannya. Orang itu diam saja.

Setelah kafe agak kosong, Kana mulai berhenti menangis. Ia menatap arlojinya. Jam 5 sore. Satu jam lagi ia harus pulang. Kana mengusap matanya.

Ya, pada akhirnya, Kana tidak jadi ke kafe. Dia nggak bisa melanggar apa kata ibunya. Kana memang marah pada ibunya, tapi dia nggak mau melanggar apa yang dilarang ibunya.

“Sebenarnya kamu nggak perlu sedih karena itu…”

Kana mendelik sebal. Orang di depannya lalu mulai memainkan gitar yang ada di pangkuannya. Dia menyanyikan salah satu lagu Keynan. Kana hanya menikmatinya dalam diam. Dalam hati, ia mengakui bahwa suara orang itu benar-benar merdu. Hampir mirip dengan suara Keynan.

Kana melotot tiba-tiba. Tunggu, mirip suara Keynan?

Ia menatap ke arah orang itu dan membuka topi yang menutupi wajah orang itu. Dan tentu ia terkejut mendapati siapa orang yang ada di depannya.

“Kamu…”
“Ssstt,” orang itu membekap mulutnya. “Jangan berisik. Rupanya kamu udah tau. Kita ke atap kafe ini aja,”

Kana mengangguk-angguk gemetaran, dan berjalan ke atap bersama orang itu yang ternyata adalah Keynan!

Mereka berjalan ke atap dan Keynan kembali bernyanyi dengan gitarnya. Kana menatap sosok idolanya dengan perasaan senang. Dia benar-benar menikmati pertemuannya dengan Keynan.

Begitu Keynan selesai bernyanyi, ia terdiam. Keynan menerawang, membiarkan matanya menelusupi awan-awan di langit.

“Aku masih jadi orang Indonesia sebelum ayahku datang untuk mengajakku tinggal bersamanya di Amerika,” Keynan mulai bercerita. Kana memperhatikannya dengan serius. Ini benar-benar istimewa! Dia bisa mendengar kisah hidup idolanya, dari mulut orangnya secara langsung! Kapan lagi ia punya kesempatan seperti ini?

“Kamu nggak keberatan kan, kalau aku cerita tentang kisah hidupku?” tanya Keynan hati-hati.

“Oh, tentu aja aku nggak keberatan,” seru Kana cepat. Keynan tertawa kecil.

“Oh, oke,” katanya. “Well, in the past, I’m just an ordinary boy. Kamu pasti nggak tahu siapa aku waktu aku masih tinggal di Indonesia. Di sini, aku tinggal dengan ibuku. Dan, yah, ibu dan ayahku cerai. Ayahku tinggal di Amerika, dan menginginkanku untuk tinggal dengannya. Tapi aku memilih tinggal dengan ibuku, di Indonesia.

“Tapi, yah, kamu tahu kan, gimana cerewetnya seorang ibu yang bikin aku kadang-kadang kesal. Jadi, tanpa berpikir matang dan tanpa persetujuan dari ibuku, aku pindah ke Amerika bersama ayahku. Padahal aku tinggal dengan ibuku belum sampai satu bulan, dan ibu sedang hamil adikku. Di sana, yah, kamu tahu, kan? Dan akhirnya aku jadi penyanyi… Seperti ini…”

Keynan menghembuskan nafas dalam-dalam. Ada nada tidak suka dalam ceritanya. Kana merengut.

“Maaf… Apa kamu baik-baik aja?” tanya Kana pelan. Keynan hanya mengangguk lesu.

“Yah, aku oke,” Keynan tersenyum. “Aku… cuma pengen ketemu ibu dan adikku..”

Kana dan Keynan sama-sama terdiam. Mereka menelusupi jalan pikiran masing-masing. Tiba-tiba mereka berdua sama-sama terlonjak.

“Oh, udah jam enam! Aku harus pulang!” teriak Kana.

“Ah, ya! Jam enam aku harus pergi!” teriak Keynan dengan panik. Kana berbalik dan menatap idolanya lekat-lekat. Ia tahu udah nggak ada waktu lagi untuk minta tanda tangan maupun berfoto bersama.

“Keynan, semoga konsermu berjalan dengan lancar! Dan semoga kamu bisa bertemu dengan ibu dan adikmu!” Kana tersenyum manis. Keynan mengangguk-angguk.

“Oke. Terima kasih! Kamu teman yang menyenangkan!” ucap Keynan. Kana lalu pamit dan menyetop sebuah taksi untuk pulang. Ia tersenyum dengan perasaan tenang dan damai. Ia sudah memikirkan cara agar ibunya memaafkan perilakunya tadi.

“Kan! Ya ampun, ternyata kamu baru pulang?! Udah, ayo! Kamu harus ketemu sama Papa!” Keisha dan mamanya menyambut dengan wajah berseri-seri. Kana mendelik. Papanya memang udah cerai dengan mamanya, dan Kana nggak pernah melihat papanya secara langsung sejak lahir.

Kana menatap sekeliling ruang tamu. Di situ ada dua orang laki-laki. Papanya, dan… Keynan?!

“P-Papa? Ini Papa? Dan… Keynan?”

“Ya, ini Papa, Kana sayang! Maafkan Papa, baru bisa bertemu denganmu sekarang… Mulai saat ini, Papa akan terus bersama dengan kamu, Keisha, Mama, dan Keynan!” papa memeluk Kana, dan Keynan tersenyum dari balik punggung papanya.

“Hai, Kana, adikku,” Keynan tersenyum manis. Keisha berdiri di sebelahnya dengan wajah berseri-seri. Dan di situ ada mamanya juga dengan wajah cerah.

Tiba-tiba Kana merasa begitu bahagia. Keluarganya, yang kini lengkap dengan papa dan kakaknya, ada di sini. Dan lagi, idolanya adalah kakaknya, Keynan!

Kana tersenyum senang. Kini hidupnya benar-benar sempurna!